Zero Wasting Fabric: Langkah Awal Menghapus Sisi Kelam Fast Fashion Industries di Indonesia

           Fast fashion industries atau yang juga dikenal sebagai ‘industri pakaian jadi’ saat ini menjadi salah satu sektor industri kreatif paling berkembang di Indonesia. Secara ekonomis industri pakaian jadi cukup banyak memberikan kontribusi positif untuk Indonesia, karena menyerap banyak tenaga kerja dan memiliki nilai ekspor yang tidak kurang dari USD 7 miliar setiap tahunya. Pemerintah bahkan membuat kebijakan-kebijakan guna menaikan angka ekspor pakaian jadi di Indonesia, karena industri ini menjadi prioritas yang tergolong dalam industri andalan Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 (Hendria, Oktaviani, & Sartono, 2017). Indonesia selain memproduksi pakaian jadi merek lokal, juga memproduksi pakaian jadi untuk merek luar. Fashion retailer dari berbagai manca negara, banyak yang sengaja melakukan proses produksi di negara-negara berkembang karena biaya produksi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan biaya produksi di negara asalnya (Bhardwaj & Fairhurst, 2010). 

Namun sangat disayangkan dibalik geliat positif fast fashion industries di negeri ini, ada sisi kelam yang belum diketahui atau disadari oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Industri pakaian menjadi penyumbang kedua terbesar limbah dunia (Sweeny, 2015) Hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan bahan tekstil atau yang biasa disebut ‘kain’ sebagai bahan baku utama pembuatan pakaian. Limbah kain dibedakan menjadi dua kategori, yaitu limbah pre-consumer dan post-consumer (Rissanen, 2013). Limbah pre-consumer yaitu limbah yang terbentuk ketika proses produksi kain, sedangkan limbah post-consumer yaitu limbah kain yang terbentuk ketika proses konsumsi kain.
Limbah pre-consumer  yang terbentuk ketika proses produksi kain menjadi salah satu pencemar terbesar di dunia. Ada sekitar 72 bahan beracun yang teridentifikasi pada proses pewarnaan kain dan 30 diantaranya tidak dapat dihilangkan dari air (Murwanti, 2017). Secara umum kain yang digunakan dalam pembuatan pakaian berasal dari serat alam dan serat sintetis. Kain yang berasal dari serat alam seperti kain katun, wol dan sutra membutuhkan air dalam jumlah besar pada saat proses budidaya maupun pengolahannya. Sebagai contohnya untuk memproduksi 1kg katun yang kira-kira setara dengan satu kaos dan sepasang jeans memerlukan lebih dari 20.000 liter air (WWF). Salah satu kain dari serat sintetis yang paling mudah dijumpai adalah polyester. Polyester merupakan kain yang serbaguna, memiliki sifat tidak mudah kusut dengan harga yang terjangkau sehingga sangat diminati. Namun meski demikian, polyester menggunakan petroleum atau minyak bumi sebagai bahan baku utamanya dan menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya dalam proses pengolahannya. Sebagian besar polyester diproduksi di Cina, Indonesia dan Banglades, dimana regulasi lingkungannya masih lemah (Edwards, 2016).
Setelah memberikan banyak dampak buruk bagi lingkungan pada proses produksinya, kain masih akan menjadi limbah post-consumer pada saat proses konsumsinya. Presentase limbah kain post-consumer yang dihasilkan dari proses produsi pakain cukup besar.  Sekitar 15% dari kain yang akan diproduksi menjadi pakaian akan berakhir menjadi limbah (Rissanen, 2005). Meskipun limbah kain dari sisa produksi pakaian dapat didaur ulang menjadi produk lain yang benilai ekonomis, tetap saja hal tersebut bukan merupakan satu-satunya solusi terbaik, justru seharusnya menjadi solusi terakhir. Inci demi inci kain sangat berharga mengingat banyaknya dampak buruk yang ditimbulkan dari proses produksinya bagi lingkungan. Konsumsi kain harus dikontrol dengan baik, para produsen pakaian harus lebih bijak dalam menggunakan kain. Perlu strategi dan perencanaan yang matang ketika menggunakan kain supaya dalam alur produksi pakaian sama sekali tidak menghasilkan limbah kain. Sistem yang meniadakan atau meminimalisir terjadinya limbah dalam suatu alur produksi disebut sebagai Zero Waste System, pertama kali sistem ini diperkenalkan oleh Paul Palmer pada tahun 1972 (Rissanen, 2013).
Sesuai dengan arti harfiahnya, Zero wasting fabric berarti ‘tanpa membuang kain’ sehingga sistem ini bertujuan untuk meminimalisir atau bahkan meniadakan limbah kain post-consumer. Zero wasting fabric menitik beratkan pada peniadaan limbah kain dalam suatu alur produksi pakaian. Untuk menyukseskan terlaksananya penerapan sistem ini, ada dua divisi yang paling berpengaruh dalam fast fashion industries, yaitu divisi design dan divisi pattern. Pakaian harus didesain sedemikian rupa oleh divisi design supaya kain yang akan digunakan dapat dimanfaatkan secara menyeluruh untuk pembuatan pakaian tanpa mengurangi nilai keindahan pada pakaian tersebut. Divisi pattern atau pola akan bertanggung jawab mambuat dan mengatur pola pakaian sedemikian rupa supaya sesuai dengan desain yang dibuat oleh divisi design.
Zero wasting fabric dapat diterapkan oleh berbagai tingkatan produsen pakaian di Indonesia, mulai dari produsen besar sampai produsen kecil dan menengah. Jika diibaratkan produsen kain adalah hulu dan produsen pakaian adalah hilirnya, maka zero wasting fabric merupakan sistem yang bergerak dari hilir, membendung hulu supaya angka produksi kain dapat ditekan. Pemanfaatan kain yang maksimal akan meningkatkan kuantitas produk, sehingga kebutuhan kain menurun. Menurunnya  kebutuhan kain secara otomatis turut menekan angka produksi kain, sehingga secara tidak langsung turut menekan angka kerusakan lingkungan yang ditimbukan dari proses produksi kain.
Bijak menggunakan kain harus menjadi perhatian penting bagi Indonesia, sebagai salah satu negara yang terkena imbas dari fast fashion industries. Sistem zero wasting fabric merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan sebagai langkah awal menghapus sisi kelam fast fashion industries di Indonesia. Penerapan sistem ini akan menjadi tantangan baru bagi seluruh insan kreatif di bidang pakaian jadi Indonesia, namun Indonesia harus mulai peduli untuk membentuk pola produksi pakaian jadi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan demi masa depan bersama.

Daftar Pustaka:
Bhardwaj, V., & Fairhurst, A. (2010). Fast fashion: response to changes in the fashion industry. The International Review of Retail, Distribution and Consumer Research , 20, 165-173.
Edwards, S. (2016, 7 29). The Environmental Impacts of Polyester. [Diakses 10 Maret, 2018], dari Tortoise and Lady Grey: http://www.tortoiseandladygrey.com/2016/08/29/environmental-impacts-polyester/
Hendria, M., Oktaviani, R., & Sartono, B. (2017). Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Pakaian Jadi Indonesia dengan Rentang Waktu Penelitian Tahun 2001 – 2016. Jurnal Ilmiah Arena Tekstil , 32, 77-86.
Murwanti, A. (2017). Slow Fashion. Indonesia: Goethe-Institut Indonesien.
Rissanen, T. (2005). From 15% to 0: Investigating the Creation of Fashion Without the Creation of Fabric Waste. [Diakses Maret 2018], dari ACADEMIA: http://www.academia.edu/3762020/From_15_to_0_Investigating_the_creation_of_fashion_without_the_creation_of_fabric_
Rissanen, T. (2013). Zero-Waste Fashion Design:a study at the intersection of fashion design and pattern cutting. Sydney, Australia: University of Technology Sydney.
Sweeny, G. (2015, 7 17). Fast Fashion Is the Second Dirtiest Industry in the World, Next to Big Oil. [Diakses 10 Maret, 2018], dari ecowatch.com: https://www.ecowatch.com/fast-fashion-i-the-second-dirtiest-industry-in-the-world-next-to-big–1882083445.amp.html
WWF. (t.thn.). Cotton Farming. [Diakses 10 Maret, 2018, dari wwf.panda.org: wwf.panda.org/about_our_earth/about_freshwater_problems/thirsty_crops/cotton/#TB

Tinggalkan komentar